Jack Ma adalah pendiri dan pemilik Alibaba.com. Ia orang Asia yang sukses berbisnis internet dengan tetap mempertahankan domisili bisnis di negaranya sendiri. Untuk sukses, ia tak hanya harus berjuang keras mengembangkan usahanya, tetapi juga benar-benar harus ikut membangun pondasi tradisi berinternet di China yang pada saat itu infrastruktur internetnya masih seadanya. Meski saat ini nama Jack Ma dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses, awal karier lelaki kelahiran Hangzhou, Zhejiang, China, tahun 1964 ini adalah justru seorang guru bahasa Inggris. Ia belajar bahasa asing itu secara otodidak. Ma memang sudah tertarik pada bahasa Inggris sejak kecil. Saat usianya 12 tahun ia sudah mulai belajar bahasa Inggris bukan dari kursus melainkan dari turis - turis. Setiap hari ia harus mengayuh sepedanya selama 40-an menit ke sebuah distrik yang banyak turisnya. Disana ia bisa berinteraksi dengan turis. Setelah agak lancar, ia bekerja sebagai guide.
Tahun 1979, ia bertemu dengan satu keluarga asal Australia yang memiliki dua orang anak dan tengah berkunjung ke China. Ia kemudian jadi guide mereka dan tinggal bersama selama tiga hari. Persahabatan Ma dengan keluarga ini begitu lekat. Sampai-sampai ia mendapat undangan ke Australia pada tahun 1985. “Pada saat itu dalam pikiran saya China adalah negeri terkaya dan terindah di dunia,” ujarnya. Namun begitu sampai di Australia, ia terkaget-kaget dengan apa yang ditemuinya. “Pikiran saya berubah setelah tinggal 31 hari di Australia,” paparnya.
Ma mulai merajut masa depan. Ia melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi namun dua kali gagal lulus seleksi. Akhirnya ia bisa diterima di Hangzhou Teachers University yang ia selesaikan dalam waktu lima tahun. Selama jadi mahasiswa ia aktif berorganisasi dan menjadi ketua federasi mahasiswa di kota itu. Selesai kuliah ia bekerja sebagai dosen bahasa Inggris di almamaternya.
Sebenarnya saat itu ia sudah punya mimpi. “Jika selesai kuliah saya tak mau mengajar namun mau bekerja di hotel atau sejenisnya,” kata Ma. Namun pekerjaan sulit ia dapatkan meski sudah melamar ke sana sini. “Tak satupun yang mau menerima saya,” ujarnya. Meski begitu akhirnya ia dapat juga pekerjaan ketika ada tawaran menjadi sekretaris General Manager Kentucky Fried Chicken. Kerja serabutan membawanya kembali ke luar negeri. Pada tahun 1995 ia menjadi penerjemah delegasi perdagangan China yang berangkat ke Seattle. “Seorang teman menunjukkan apa itu internet di sana. Itulah pertama kalinya saya mengenal internet,” ujar Ma. “Kami search kata ‘beer’ di Yahoo namun tak satu pun link yang berhubungan dengan China,” kata Ma. Ia terdiam. Namun saat itu muncullah gagasannya membuat website sendiri bernama China Pages agar produk-produk China bisa dicari di internet. Untuk membangun usahanya itu, ia meminjam uang sebesar 2.000 dolar AS. “Saya tak punya pengetahuan tentang PC (personal computer) atau e-mail. Saya bahkan baru pertama kali itu menyentuh keyboard. Itulah kenapa saya menyebut diri saya sebagai ‘Blind Man Riding On The Back Of A Blind Tiger’,” ujarnya.
Rupanya usaha kecil Ma dilirik China Telecom. Lucunya, selama setahun sebelumnya China Pages bersaing dengan China Telecom di internet. Persaingan itu berujung pada keputusan China Telecom untuk bekerja sama. Malah perusahaan itu bersedia menanamkan investasi sebesar US$ 185.000 di China Pages. “Itu uang terbesar yang pernah saya lihat dalam hidup saya,” ujar Ma terkaget-kaget. Hanya saja kolaborasi itu menghasilkan kursi komisaris yang timpang. China Telecom mendapat lima kursi sedang Ma cuma dua kursi. Akibatnya semua gagasan Ma selalu mentok karena kalah suara. Gara-gara inilah akhirnya Ma hengkang dari perkongsian itu. Ma kemudian mendapat tawaran dari pemerintahan Beijing untuk mempromosikan e-commerce. Namun ia punya mimpi bahwa suatu saat ia harus punya perusahaan e-commerce sendiri. Tahun 1999 ia mencari-cari nama yang cocok. “Saya ingin memiliki perusahaan global sehingga saya harus memilih nama yang global pula,” katanya. Saat di Amerika ia mendengar banyak orang menyebutnya Ali Baba. Dan ketika menyebut nama itu, mereka menggambarkannya sebagai pengusaha China yang sukses. Tak pikir panjang ia pun mengambil domain Alibaba.com.
Rencana memiliki usaha sendiri itu ia kemukakan pada sejumlah rekannya. Ma mengumpulkan 18 orang rekannya di apartemennya. Ia paparkan proyeknya dalam diskusi selama dua jam. Usai diskusi masing-masing peserta diminta urunan modal usaha. Lalu terkumpullah USD 60.000 di atas meja. Modal itulah yang digunakan untuk membangun Alibaba.com, portal e-commerce dari China yang terus berkembang secara menakjubkan. “Kenapa kami survive, karena kami tak punya uang, kami tak punya teknologi, bahkan kami pun tak punya rencana. Untuk itu kami gunakan dana dengan sangat hati-hati,” paparnya. Kehati-hatian itu antara lain dengan menggunakan apartemennya sebagai kantor. Kantornya mulai pindah ketika Alibaba.com mendapat bayaran dari Goldman Sach pada tahun 1999 dan dari Softbank Corporation tahun berikutnya. Konsep usaha Alibaba.com, kata Ma, sebenarnya sederhana. Ia memfokuskan bisnisnya untuk membantu kalangan UKM berjualan. Ia tak meniru perusahaan-perusahaan internet China lainnya yang mengopi konsepnya dari perusahaan-perusahaan internet sukses di AS dan Eropa. “Kami jalan sendiri dengan semangat mengemukakan kualitas,” ujarnya. Website-nya menawarkan produk-produk UKM yang berkualitas ke seluruh dunia. Dari sanalah bisnisnya berkembang pesat.
Namun perkembangan yang begitu pesat sempat juga hampir merontokkan usahanya. Pada tahun 2002 cashflow bisnisnya hanya cukup untuk operasional 18 bulan akibat terlalu menggebu berekspansi. Saat itu, Ma menyebutkan, ia memiliki terlalu banyak member Alibaba.com yang bergabung dengan fee gratis. Ia tak tahu bagaimana mencari uang dari internet. Dari situlah timbul ide untuk mempertemukan eksportir China agar bisa bertemu pembelinya dari AS dengan imbalan komisi. Sejak itulah bisnisnya berkembang pesat. Saat Alibaba.com go public tahun 2007, perusahaan ini meraih dana 1,7 miliar dolar AS (sekitar Rp 15,3 triliun) dari pasar modal. Tahun 2009 lalu omsetnya mencapai 352 juta dolar AS atau sekitar Rp 3,1 triliun setahun.
Apa rahasia sukses Ma? “When you are small, you have to be very focused and rely on your brain, not your strength,” katanya. Jika kita kecil kita harus fokus dan bergantung pada otak, bukan pada kekuatan. Jika Jack Ma bisa melakukannya dengan ketekunan, keberanian, dan inovasi, kita pun seharusnya bisa melakukan gebrakan yang sama, terutama pada bidang yang kita tekuni saat ini.
Inilah kisah sukses restoran siap saji Mc Donald dimulai di tahun 1940 dengan dibukanya sebuah restoran oleh Dick dan Mac McDonald, di San Bernardino, California. Mereka memperkenalkan “Speedee Service System” pada tahun 1948, yang kemudian menjadi pinsip dasar restoran siap-saji modern. Maskot awal McDonald’s, yang bernama Speede, adalah seorang pria dengan kepala berbentuk hamburger yang menggunakan topi koki. Speede kemudian digantikan oleh Ronald McDonald di tahun 1963.
McDonald’s saat ini tidak menjadikan tahun 1940 sebagai tahun kelahiran restoran McDonald’s. Mereka memilih 15 April 1955, ketika Ray Kroc membeli lisensi waralaba McDonald’s dari Dick dan Mac di Des Plaines, Illinois, sebagai hari kelahirannya. Kroc kemudian membeli saham dari McDonald’s bersaudara dan memimpin perusahaan ini melakukan ekspansi ke seluruh dunia. Saham McDonald’s mulai dijual kepada publik tahun 1965.
Sifat agresif yang dimiliki Kroc bertentangan dengan keinginan McDonald bersaudara. Kroc dan McDonald bersaudara bertikai untuk mengontrol bisnis ini, namun akhirnya McDonald bersaudara lah yang pergi meninggalkan perusahaan. Pertikaian ini didokumentasikan baik dalam otobiografi Kroc maupun otobiografi McDonald bersaudara. Situs di mana McDonald bersaudara pertama kali mendirikan restoran kini dijadikan monumen.
Dengan ekspansi agresifnya ke seluruh penjuru dunia, McDonald’s dijadikan sebagai simbol globalisasi dan penyebar gaya hidup orang Amerika.
Pada tahun 1960, terdapat lebih dari 200 saluran McDonald’s di seluruh Amerika, perluasan cepat yang dikobarkan oleh biaya franchise yang rendah. Ray Kroc telah menciptakan salah satu merek yang paling kuat sepanjang masa. Tetapi dia nyaris tidak mendapat keuntungan. Akhirnya, dia memutuskan untuk menggunakan real estate sebagai pendukung keuangan yang menyebabkan McDonald’s menjadi operasi yang menguntungkan. Pada tahun 1956, Kroc mendirikan Franchise Realty Corporation, membeli tanah dan bertindak selaku pemilik restoran bagi pembeli franchise yang penuh minat.
Dengan langkah ini, McDonald’s mulai memperoleh penghasilan yang sesungguhnya, dan perusahaan pun lepas landas. Kroc kemudian memperkenalkan program periklanan nasional untuk mendukung franchise yang tersebar dengan cepat; dan setelah tampak bahwa pertumbuhan di wilayah asal perusahaan ini melambat pada awal tahun 1970-an, dia memulai dorongan yang penuh semangat dan sukses untuk membuat kehadiran global bagi McDonald’s. Sepanjang pertumbuhan perusahaan yang spektakuler, Kroc melakukan akrobat keseimbangan berjalan di atas rentangan tali yang sulit, memberlakukan standar yang keras di seluruh sistem sementara mendorong semangat wirausaha yang menyambut baik gagasan dari semua tingkat. Banyak gagasan ini yang memberikan sumbangan kepada keberhasilan perusahaan yang menakjubkan. Dalam mengumpulkan kekayaan sebesar $500 juta, raja hamburger ini mengubah lansekap budaya bangsa dan menempa sebuah industri yang termasuk di kalangan ekspor Amerika yang terbesar. Keberhasilan McDonald’s yang ditiru secara meluas menawarkan contoh yang baik sekali bagi manajer dan eksekutif zaman sekarang yang berusaha mencari efisiensi produksi yang lebih besar.
Dengan menempatkan hamburger yang bersahaja di atas jalur perakitan, Kroc menunjukkan kepada seluruh dunia bagaimana cara menerapkan pross manajemen yang maju pada usaha yang paling membosankan. Supaya bisa maju dengan cara McDonald’s, perusahaan-perusahaan harus menetapkan prinsip dasar pelayanan yang mereka tawarkan, memecah-mecah pekerjaan menjadi bagian-bagian, dan kemudian terus-menerus merakitnya kembali dan menyempurnakan banyak langkah sampai sistem berjalan tanpa kekangan. Hari ini, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam antara pizza, pemrosesan klaim asuransi, atau menjual mainan mendapat keuntungan dari jenis sistem yang dipelopori oleh Ray Kroc. Sampai tingkat ketika operasi seperti ini menjaga pengendalian mutu, dan memelihara kepuasan pelanggan, keuntungan akan mengalir.
Sebagai salesman mesin susu kocok, Raymond Kroc secara rutin mengunjungi kliennya. Tetapi ketika salesman berumur lima puluh dua tahun ini pergi dari rumahnya dekat Chicago ke California selatan untuk menemui dua kliennya yang terbesar, hasilnya sama sekali bukan hal rutin. Maurice dan Richard McDonald meninggalkan New Hampshire pada tahun 1930, berusaha mencari peruntungan di Hollywood. Karena tidak bisa mendapatkan hasil besar di Tinseltown, kakak beradik ini akhirnya menjadi pemilik restoran drive-in di San Bernardino, kota kecil berdebu sejauh lima puluh lima mil di sebelah timur Los Angeles. Sementara kebanyakan restoran membeli satu atau dua Prince Castle Multimixer, yang bisa mencampur lima gelas susu kocok sekaligus, McDonald bersaudara membeli delapan buah. Dan Kroc ingin tahu jenis operasi apa yang membutuhkan kemampuan membuat empat puluh gelas susu kocok pada saat saat yang bersamaan. Maka dia pergi ke San Bernardino, dan apa yang dilihatnya di sana mengubah kehidupannya. Kroc berdiri di keteduhan dua gerbang lengkung keemasan restoran yang gemerlapan, yang menerangi langit di senja kala, dan melihat antrian orang-orang yang berkelok-kelok seperti ular di luar restoran yang berbentuk segi delapan. Melalui dinding bangunan yang selurunya terbuat dari kaca, dia memandangi para karyawan pria, yang memakai topi kertas dan seragam putih, sibuk di restoran yang sangat bersih, menyajikan burger dalam piring, kentang goreng dan susu kocok kepada keluarga-keluarga kelas pekerja yang berdatangan naik mobil. “Sesuatu pasti sedang terjadi di sini, saya mengatakan kepada diri sendiri,”
Kroc kemudian menulis dalam otobiografinya, Grinding It Out. “Ini pasti operasi perdagangan paling menakjubkan yang pernah saya lihat.” Tidak seperti begitu banyak operasi pelayanan makanan yang pernah ditemui oleh Krock, tempat ini mendengung seperti mesin yang ditun-up dengan sempurna. Sebagaimana Forbes menyatakannya, “singkatnya, kakak-beradik ini mendatangkan efisiensi kepada bisnis yang cepat.” Mereka menawarkan menu sembilan jenis makanan – burger, kentang goreng, susu kocok, dan pai – menyingkirkan tempat duduk, serta menggunakan alat makan kertas dan bukannya kaca atau porselen. Mereka juga merancang jalur perakitan kasaran sehingga mereka bisa melayani pesanan dalam waktu kurang dari enam puluh detik.
Kroc seketika tahu bahwa dia telah melihat masa depan. “Malam itu dalam kamar motel saya, saya berpikir keras tentang apa yang saya lihat siang harinya. Bayangan restoran McDoland’s yang tersebar di sekitar perempatan jalan di seluruh negara berpawai melalui otak saya.”
Dengan persetujuan di tangan, Kroc mulai memenuhi bayangannya tentang restoran McDonald’s yang meledak dari pantai ke pantai. Dia memulai dengan membangun mata rantai pertama kongsi restoran ini – sebuah model eksperimewntal di Des Plaines, illinois, di luar kota Chicago, yang bersifatkan harga rendah yang sama, demikian pula menu yang terbatas, dan pelayanan cepat seperti di restoran San Bernardino. Restoran yang dibuka pada tanggal 15 April 1955 ini mencapai penjualan yang terhormat sebesar $366,12 dengan cepat memasukkan keuntungan. Kroc mengawasi restoran ini dengan waspada seperti seorang ibu baru, secara pribadi memimpin kegiatan dapur dan mengorek sisa permen karet dari pelataran parkir dengan pisau raut. Bagi Kroc, meniru satu kedai tunggal kakak-beradik McDonald baru permulaannya. Supaya bisa membangun kongsi restoran, Kroc tahu bahwa dia harus memberlakukan disiplin atas industri restoran yang dikelola secara longgar. Dan itu berarti menyempurnakan prosedur operasi yang distandarkan dalam proses yang bisa ditiru. Empat puluh tahun sebelumnya, Henry Ford sudah menyadari bahwa produksi massal mobil memerlukan perkawinan antara presisi bagian-bagian mobil dan proses perakitan yang efisien. Wawan Kroc adalah menerapkan disiplin yang sama pada pembuatan sandwich.
Dengan menggunakan gagasan bahwa “ada ilmu untuk membuat dan menyajikan hamburger,” Kroc memberikan kepada kepingan daging sapi gilingnya spesifikasi yang tepat – kandungan lemak: di bawah 19 persen; berat: 1,6 ons: garis tengah: 3,875 inci; bawang: ¼ ons . Kroc bahkan membangun sebuah laboratorium di pinggiran kota Chicago untuk merancang metode pembuatan kentang goreng yang sempurna pada akhir tahun 1950-an. Bukannya sekedar memasok pembeli franchise dengan rumus susu kocok dan eskrim, Kroc ingin menjual kepada mitra barunya satu sistem operasi. Dengan lain perkataan, dia membuat cap satu pelayanan. Dan ini sarana revolusioner yang akan digunakan oleh McDonald’s untuk menciptakan kongsi restoran yang di dalamnya satu restoran di Delaware dan satu restoran di Nevada akan menyajikan burger yang tepat sama ukuran dan mutunya, masing-masing berisi potongan acar yang sama, setiap burger disajikan dalam talam yang serupa bersama kentang goreng yang dimasak dengan lamanya waktu yang sama. Sebagaimana yang diingat oleh Kroc, “Kesempurnaan sulit sekali dicapai, dan kesempurnaanlah yang saya inginkan dalam McDonald’s. Segala hal lainnya sekunder bagi saya.”
Tetapi tuntutan yang serba tepat melayani satu tujuan strategis. “Tujuan kami, tentu saja, adalah memastikan bisnis yang berulang berdasarkan reputasi sistem dan bukannya
mutu satu restoran atau operator tunggal,” kata Kroc. Walaupun franchise McDonald’s bertumbuhan dimana-mana di seluruh daerah di Barat Tengah dan Barat seperti bunga liar setelah hujan musim semi, keberhasilan perusahaan rupanya berumur pendek. Sementara persetujuan asli yang dijalin dengan kakak-beradik McDonalds menyebabkan Kroc menyayangi pembeli franchise yang paling awal, ini juga menyebabkan perusahaan yang baru lahir ini langsung menuju kemungkinan bangkrut. Selama tahun 1960, ketika kongsi restoran ini mengeruk uang $75 juta dalam penjualan, penghasilan McDonald’s hanya $159.000. “Singkatnya, konsep Kroc untuk membangun McDonald’s, John Love. Dan rumah kartu impian Kroc mulai runtuh di bawah bobotnya sendiri. Sementara terbenam dalam utang dan tanpa pertumbuhan keuntungan yang bisa dibayangkan, Kroc menghadapi satu dilema yang klasik. Dia tidak mampu memperluas usaha. Dan dia tidak bisa tetap terapung.
Untunglah, Harry Sonnenborn menemukan pemecahan. Dia berpikir McDonald’s harus mendapatkan uang dengan menyewa atau membeli lokasi yang akan dijadikan kedai dan kemudian menyewakannya kembali kepada pembeli franchise mula-mula dengan peningkatan harga 20 persen, dan kemudian 40 persen. Di bawah rencana ini, McDonald’s akan mencari lokasi yang sesuai dan menandatangani perjanjian sewa dengan bunga yang ditentukan. Strategi real estate pas sekali dengan tujuan penguasaan Kroc yang lebih besar. Bukannya menjual franchise geografis sebagai selubung, yang akan memberikan kepada pemegangnya hak untuk membangun sebanyak-banyaknya atau sesedikit-sedikitnya kedai sekehendak hatinya disuatu kawasan tertentu, Kroc hanya menjual franchise individual, dengan biaya rendah $950. Ini mematikan bahwa operator yang tidak bersedia bermain mengikuti aturannya hanya bisa membuka tidak lebih dari satu saluran. Setelah menyerahkan urusan keuangan yang stabil ke tangan Harry Sonnenborn yang ahli, Kroc mulai memperluas dan memprofesionalkan kerajaan industri yang sedang tumbuh ini. Di bawah konsepsinya yang baru, setiap pembeli franchise dan operator seperti seorang manajer pabrik. Karena mengetahui bahwa ukuran bagi kompleks industri yang maju adalah manajemen profesional, pada tahun 1961 Kroc meluncurkan satu program latihan-di restoran baru di Elk Grove Village, Illinoiss. Di sana, kelompok pelaksana melatih pembeli franchise dan operator dalam metode ilmiah mengelola McDonald’s yang sukses dan melatih mereka dalam ajaran kroc tentang Mutu, Pelayanan, Kebersihan dan Nilai. “Saya menaruh hamburger pada jalur perakitan,” Kroc suka mengatakan. Hamburger juga berisi laboratorium penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan mekanisme memasak, membekukan, menyimpan, dan menyajikan. Di mana pun juga tidak ada dikotomi antara pengendalian pusat dan otonomi operasi yang lebih kentara daripada dalam iklan.
Pada hari Natal akhir tahun 1950-an, Turner dan para manajer lainnya bisa berkeliling Chicago Loop dengan “Kereta Sinterklas,” sebuah truk eskrim yang diubah menjadi restoran drive-in McDonal’s yang beroda. Namun kendati sangat menyukai cara menjajakan barang dagangan model kini ini, McDonald’s tidak mempunyai strategi periklanan untuk seluruh perusahaan. Sebaliknya, ketika operator Minneapolis Jim Zein melihat penjualannya meledak pada tahun 1959 setelah memasang iklan radio, Kroc mendorong para operator untuk memanfaatkan gelombang udara dengan kampanye mereka sendiri. Iklan yang sukses membantu penggalakan pertumbuhan yang lebih besar. Dan pada tahun 1965, dengan 710 restoran McDonald’s tersebar dalam empat puluh empat negara bagian, $171 juta dalam penjualan, dan neraca yang relatif mantap, akhirnya McDonald’s mekar sepenuhnya. Perusahaan ini go public pada tanggal 15 April, tepat sepuluh tahun sampai ke harinya setelah Kroc membuka kedai Des Plaines, menjual 300.000 saham dengan harga per lembar $22,50. Banyak saham ini yang ditawarkan oleh Kroc, yang mengeruk uang $3 juta dalam penjualan. Kroc mengerahkan uang tunai ini untuk memperluas perusahaan dan melawan pesaing yang dengan cepat menyebar di mana-mana, sebab keberhasilan perusahaan telah melahirkan banyak imitasi yang berusaha memanfaatkan industrialisasi fast food yang semakin meningkat. Melalui pertumbuhan yang pesat dan iklan yang meluas, McDonald’s pada awal tahun 1970-an menjadi kongsi restoran fast food yang terbesar di seluruh negara dan sifat yang mudah dikenali dari lansekap budaya Amerika. Dan penguasa tertinggi McDonaldland, Ray Kroc, menjadi seorang tokoh yang bertingkat nasional. Pada tahun 1972, ketika lebih dari 2.200 saluran McDonald’s mengeruk penjualan $1 milyar, kroc menerima hadiah Horatio Alger dari Norman Vincent Peale.
Sementara nilai saham pemilikannya meningkat menjadi kira-kira $500 juta. Sementara produk McDonald’s menjadi makanan pokok Amerika, hal ini membangkitkan keinginan menyelidiki wartawan dan politikus pembaharuan yang suka mencari-cari kejelekan, raksasa industri profil tinggi Ray Kroc juga menarik perhatian dari banyak pihak. Sementara produk McDonald’s menjadi makanan pokok Amerika, hal ini membangkitkan sikap tinggi hati kaum elit industri makanan. Mimi Sheraton dari New york magazine menyatakan: “Makanan McDonald’s mengerikan secara tidak ketulungan, tanpa keindahan apa pun.” Para politikus juga memperhatikan. Pada tahun 1974, ketika nilai pasar perusahaan ini melampaui nilai U.S. Steel yang maju dengan lambat, Senator Lloyd Bentsen mengeluh: “Ada sesuatu yang tidak beres dengan ekonomi kita kalau pasar saham lebih banyak dalam hamburger dan lebih sedikit dalam baja.”
Banyak analis yang memandang pertumbuhan McDonald’s yang pesat sebagai hal yang tidak akan bisa dipertahankan. Tetapi Kroc merasa yakin bahwa perusahaan perlu terus berkembang supaya bisa bertahan hidup. “Saya tidak percaya dengan kejenuhan,” dia berkata. “Kami berpikir dan bicara dalam tingkat seluruh dunia.” Kroc membayangkan sebuah dunia yang di dalamnya 12.000 pasang Gerbang Lengkung Keemasan akan berdiri sebagai pos luar sebuah kerajaan perdagangan yang perkasa. Mendirikan pangkalan di ibu kota negara-negara Eropa baru permulaannya. Dengan berlalunya waktu sepuluh tahun, seribu restoran yang dibuka oleh perusahaan di luar negeri menggalakkan 27 persen tingkat pertumbuhan tahunan. Kongsi restoran ini begitu universal dikenal sebagai lambang usaha Amerika dan berpengaruh, sehingga ketika gerilyawan Marxis meledakkan sebuah restoran McDonald’s di San Salvador pada tahun 1979, mereka menyatakan bahwa tindakan teroris ini sebuah pukulan mematikan terhadap “imperialis Amerika.” “Walaupun McDonald’s mencapai sukes, dan kekayaan pribadinya mencapai $340 juta, dia selalu khawatir,”
Forbes menulis pada tahun 1975, “Kalau Kroc bepergian, dia bersikeras menyuruh sopirnya membawanya paling sedikit ke enam restoran McDonald’s untuk melakukan inspeksi kejutan.”. Walaupun dia membunuh persaingan, persaingan tidak membunuh Ray Kroc. Dia meninggal dunia dalam usia lanjut pada bulan Januari 1984, pada umur delapan puluh satu tahun, tepat sepuluh bulan sebelum McDonald’s menjual hamburger yang ke-50 milyar.
Sampai pada tahun 2004, McDonald’s memiliki 30.000 rumah makan di seluruh dunia dengan jumlah pengunjung rata-rata 50.000.000 orang dan pengunjung per hari dan rumah makan 1.700 orang.
Lambang McDonald’s adalah dua busur berwarna kuning yang biasanya dipajang di luar rumah-rumah makan mereka dan dapat segera dikenali oleh masyarakat luas.
Restoran McDonald’s pertama di Indonesia terletak di Sarinah, Jakarta dan dibuka pada 23 Februari 1991. Berbeda dari kebanyakan restoran McDonald’s di luar negeri, McDonald’s juga menjual ayam goreng dan nasi di restoran-restorannya di Indonesia.
Menyaksikan antusiasme orang-orang yang mengantre makanan yang dijajakan, gairah pemilik yang melayani, gerai yang unik, hati lelaki itu berbisik, “Something is definitely happening here". Dan, bertahun-tahun kemudian, ketika perusahaan makanan tadi telah berhasil dikibarkannya jadi salah satu ikon bisnis "bahkan ikon budaya" Amerika Serikat, dia mengenang momen intuitif yang membalikkan seluruh hidupnya itu dengan, "Saat itu, saya seperti melihat masa depan".

Jangan sekali-kali menyamakan horor dengan teror. "Teror itu psikologis, sementara horor itu biologis," kata Stephen King, penulis novel horor paling laris di Amerika Serikat. Menurut Stephen King, manusia biasanya bakal menolak teror, tetapi diam-diam atau terang-terangan membutuhkan horor. Dan Stephen King membuktikannya.
Jauh sebelum novel horornya terbit, hidup Stephen King sungguh sengsara. Meski punya gelar sarjana sastra Inggris dari Universitas Maine di Orono, ia harus banting tulang untuk menghidupi keluarganya. Ia tercatat pernah bekerja di binatu, dan menjadi pelayan pompa bensin sebelum memperoleh penghasilan tetap sebagai guru bahasa di sebuah sekolah menengah umum.
Tapi, begitu Carrie, novel seram pertamanya terbit, semua berubah. Awalnya, novel itu cuma dibayar US$ 2.500 oleh William Thompson, penerbit pertamanya. Belakangan, Doubleday, penerbitan milik Thompson, berhasil menjual Carrie ke New American Library seharga US$ 400.000. Dan, perlahan, novel itu pun menimbulkan demam Stephen King di Amerika. Carrie akhirnya terjual jutaan jilid, dan membuat Stephen King kaya raya.
Sutradara sekelas Brian De Palma pun tertarik memfilmkan Carrie. Pada 1976, film Carrie rampung digarap dengan bintang-bintang terkemuka, seperti Amy Irving, Nancy Allen, John Travolta, dan Sissy Spacek. Sukses Carrie seolah membenarkan ucapan Stephen King: horor itu kebutuhan biologis!
Setelah Carrie, puluhan novel seram Stephen King lainnya juga laku keras. Tak kurang dari 62 film dibuat berdasarkan naskah seramnya. Sebagian besar masuk daftar film terlaris, sementara sebagiannya lagi dipujikan sebagai film yang baik. Salem's Lot, Cujo, The Dead Zone, Stand By Me adalah beberapa judul dari daftar panjang film dari karya King.
Tak cuma Stephen King yang berhasil membuktikan bahwa horor itu enak dan perlu. Penulis lain, Anne Rice, berhasil menjadi kaya dengan kisah Vampire Chronicle-nya. Cerita seram Anne Rice juga laris ketika dibuat film. Interview with Vampire dan Queen of the Damned adalah dua film laris yang didasarkan pada kisah seram Anne Rice.
Cerita seram memang jadi genre yang tak pernah lekang. Film-film horor pun selalu tercatat punya pasar besar. Sukses The Exorcist, misalnya, menjadi legenda tersendiri. Film ini berhasil meraup keuntungan senilai US$ 357.500.000, dan berada di urutan ke-69 dalam daftar film terlaris sepanjang masa versi Internet Movie Data Base dot com.
Kisah tentang Lankester Merril, pastor pengusir hantu, itu telah dibuat sekuelnya dua kali. Tahun ini, rencananya beredar film Exorcist: The Beginning, prekuel dari kisah Lankester Merril. Bahkan, menurut Michael W. Cuneo, penulis American Exorcism: Expelling Demons in the Land of Plenty, kisah The Exorcist merupakan awal maraknya industri exorcism di Amerika.
Selaku sosiolog, Cuneo juga mencatat bahwa pasca-The Exorcist, banyak gereja kini secara terbuka berani melangsungkan praktek pengusiran hantu. Selain The Exorcist, kisah hantu dan makhluk dunia lain juga memadati daftar film terlaris. The Sixth Sense, kisah hantu garapan M. Night Shyamalan, misalnya, tercatat sebagai film ke-14 terlaris sepanjang masa.
Film Ghosts ada di urutan ke-24, sementara The Mummy Returns dan The Mummy ada di urutan ke-44 dan ke-45. Barangkali juga cuma film horor yang bisa melahirkan fenomena seperti The Blair Witch Project, film indie paling laku sepanjang sejarah. Dengan biaya cuma US$ 30.000 --tak akan cukup untuk biaya katering film studio besar Hollywood-- The Blair Witch Project bisa meraup keuntungan US$ 240,5 juta, dan ada di urutan ke-166 film terlaris sepanjang masa.
Film horor juga bukan hanya monopoli kultur Barat. Lewat film layar lebar Nang Nak pada 1999, misalnya, Nonzee Nimitbur berhasil mengungguli Titanic sebagai film dengan penjualan tiket terbanyak di Thailand. Padahal, sebelumnya perfilman Thailand sudah mati suri. Lewat adaptasi kisah yang telah difilmkan atau disinetronkan sebanyak 22 kali itu, Nonzee Nimitbur juga memperoleh reputasi sebagai sutradara film seni terkemuka kelas dunia.
Kisah horor Asia memang tak kalah kelas. Belakangan, studio besar Hollywood keranjingan membuat ulang film-film horor dari kawasan ini. Setelah membuat ulang The Ring, yang merupakan adaptasi Ringu, film horor laris Jepang, Hollywood tengah menggarap ulang The Eye. Hak cerita film horor Hong Kong itu dibeli perusahaan film milik Tom Cruise.
Selain dua film itu, dua film hantu Jepang lainnya, Kidnap dan Water Ghost Fable, juga tengah digarap ulang studio besar Hollywood. Sejak krisis keuangan menghantam kawasan Asia, film-film horor-hantu memang menjamur di seluruh kawasan ini. Tampaknya, sejarah berulang: setiap kali ada krisis besar, cerita horor muncul jadi "jalan keluar".
Bukankah pada 1920-an dan 1930-an, chaos dan kolaps-nya perekonomian Jerman, yang kemudian memunculkan teror rezim Nazi, melahirkan gelombang film ekspresionis Jerman? Sementara, pada Great Deppresion di Amerika Serikat, Universal Studios memilih mengeluarkan monster seperti Frankestein dan Drakula untuk menghantui mimpi-mimpi rakyat Amerika.
Stephen Edwin King (lahir di Portland, Maine, Amerika Serikat, 21 September 1947; umur 62 tahun) adalah seorang penulis asal Amerika Serikat. Ia populer lewat novel-novel horor tulisannya. Kisah-kisah yang ia tulis sering melibatkan protagonis yang "biasa", misalnya keluarga kelas menengah, seorang anak-anak, atau penulis. Selain kisah-kisah horor, King juga menulis cerita dalam genre lain, termasuk The Body dan Rita Hayworth and Shawshank Redemption (masing-masing diadaptasikan menjadi film layar lebar berjudul Stand By Me dan The Shawshank Redemption), serta The Green Mile dan Hearts in Atlantis.

Total Pengunjung